“Jangan biarkan hasil karya tulis ilmiah kita menumpuk dan tidak dibukukan” ujar Eko Daryono saat memberikan pelatihan menulis bersama guru-guru se-nusantara melalui grup Whatsapp yang diprakasai oleh Komunitas Menulis PGRI pada Senin (16/1/2023).
Dalam
paparannya, Eko mengajak agar peserta yang pernah melakukan penelitian berupa
disertasi, tesis, skripsi, best practice dan karya ilmiah lainnya agar
bisa menjadi buku ber-ISBN. “Dari pengalaman para Widyaiswaran, para peneliti
LIPI, para pakar agar Karya Tulis Ilmiah (KTI) dibukukan. Hal ini sesuai dengan
peraturan LIPI Nomor 2, Tahun 2014. KTI itu ada dua jenis yaitu KTI nonbuku dan
KTI buku,” ujar Eko yang pernah menjadi Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah
Cakrawala-Karanganyar.
“KTI
nonbuku seperti skripsi, tesis, disertasi, dan tugas akhir. KTI hasil
penelitian berupa PTK, PTS, best practice, jurnal dan artikel. KTI
ulasan atau resensi. Sedangkan KTI berupa buku seperti bahan ajar; diktat,
modul, ajar, buku referensi dan sebagainya. Ada juga buku pengayaan seperti
monograf, buku panduan, buku pegangan, buku teks, dll. Buku kompilasi seperti
bunga rampai, prosiding, dll, ungkap Eko yang mengajar di SMP
Negeri 3 Mojolaban.
Eko
melanjutkan, bahwa struktur KTI itu standar umumnya seperti menyusun pada
bab-bab. Namun, KTI yang dikonversi menjadi buku akan ada perbedaan. “Secara
substansi isi memang tidak ada perbedaan, karena sejatinya isi buku
mencerminkan isi laporan KTI, akan tetapi secara sistematis dan gaya penulisan
KTI yang dijadikan buku akan berbeda. Harus disesuaikan dengan bahasa dan
penyusunan agar tidak kaku. Walaupun kedunya ilmiah, tapi KTI yang diubah
menjadi buku mempunyai bahasa yang luwes, lugas dan mudah dibaca. Jangan ada
lagi kata-kata seperti penelitian ini, penulis, teman sejawat, dalam sebuah
buku,” terang Eko yang juga pernah menjadi Ketua Takmir
Masjid Jami Baiturrakhim.
Tips KTI
Menjadi Buku
Eko
memberikan tips acara untuk mengkonversi KTI menjadi buku. “Pertama, rubah
judul agar lebih menarik, unik, mudah diingat, mencerminkan isi buku, dan tidak
terlalu sama dengan judul penelitian. Kedua, rubah sistematika dan gaya
penulisan. Jangan sama seperti penelitian susunan penomoran. Ketika menjadi
buku, tidak ada lagi sub-bab yang membuat isi buku seolah-olah terpisah-pisah,”
kata Eko yang pernah juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah
Tingkat Kabupaten pada
tahun 2008.
Kemudian,
Eko memberikan tips cara mengubah bab 1. “Pendahuluan pada bab 1 boleh ditulis,
atau ditulis kata lain seperti latar belakang, pembuka, atau kata yang lain
yang bisa membuat buku lebih menarik. Waktu penelitian saya, saya ubah menjadi
fenomena pembelajaran TIK. Ditambah hal-hal yang relevan, fenomena yang
kekinian, isi buku ditonjolkan agar keseluruhan
buku lebih menarik untuk dibaca. Kita tidak perlu lagi menulis lagi sub bab-sub
bab seperti latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, tujuan, manfaat.
Fokus bab 1 hanya mengembangkan pendahuluan atau latar belakang masalah,” terang
Eko yang juga seorang penulis, editor, narasumber
diklat/seminar/ workshop, baik kedinasan maupun non kedinasan dalam bidang penulisan KTI maupun
buku umum.
Lebih
lanjut, Eko menerangkan bagaimana mengubah bab II dan bab III pada TKI. “Bab II
adalah tinjauan teori. Jika terdapat bab dan sub bab, maka rubahlah dengan gaya
penulisan buku yang lebih luwes sehingga menjadi beberapa poin/bab. Untuk bab
III biasanya ada metode, teknik pengumpulan data (instrumen), analisis data.
Maka, ada beberapa yang bisa kita ubah, yaitu menarasikan antara bab II dan bab
III diawal pembahasan. Keseluruhan dari bab III dihilangkan saja, cermati saja
isi pembahasannya. Bab III yang menjadi konsep pokok penting bisa digabung pada
bab II,” ungkap Eko yang saat ini sedang mengikuti Pendidikan
Calon Guru Penggerak Angkatan 7.
Eko
memberikan contoh, bagaimana langkah-langkah ketika mengubah bab V dengan sub tahapan
penerapan Every One is Teacher menggunalam model tindakan kelas. “Menarasikan
bab III di awal pembahasan terkait substansi isi. Namun, harus hati-hati ya
ketika menarasikan dibutuhkn pertimbangan, apalagi untuk kepentingan pangkat
bagi guru ASN. Dibutuhkan mentoring dalam mengeditnya,” terang Eko yang pernah
menjadi juara 2 Lomba Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten tahun 2009.
Untuk
memodifiksi bab IV, Eko memberikan tips agar bagian inti isi buku sesuai dengan
judul. “Ingat, bab IV tidak lagi menggunakan judul hasil dari penelitian dan
pembahasan ya, harus sesuaikan dengan konteks buku. Bab IV menjadi pilihan
untuk judul buku,” ungkap Eko yang sudah menulis 14 buku tentang kesejarahan.
“Bab IV
jika ingin memasukan tabel, grafik, atau foto-foto kegiatan, hasil penelitian bisa
dimasukkan dalam buku. Pada bab IV ini tidak ada lagi data mentah seperti nama
responden dengan angka atau nilainya. Foto hanya sekedarnya untuk mendukung narasi,”
lanjut Eko yang pernah menulis dua buku tentang traveling.
Eko juga
pernah punya pengalaman mengedit buku hasil lomba Dharma Wanita SMK se-provinsi
Jawa Timur. “Hasil lomba banyak foto-foto kegiatan karena memang tentang cara
membuat kerajinan, makanan, jadi harus didukung banyak foto,” kata Eko yang
pernah menulis 10 buku budaya lokal.
Eko juga
menjelaskan bab terakhir yaitu bab V. “Bab ini berusu simpulan dan saran. Bab ini
adalah PENUTUP, judul tersebut bisa dipertahankan kok. Pada bab ini tidak hanya
simpulan dan rekomendasi, tapi juga terkait novelty, temuan terbaru dari
sebuah hasil penelitian,” ujarnya.
Lantas
bagaimana memodifikasi lampiran? Eko juga memberikan tips, agar lampiran hanya
data yang sudah matang bukan data mentah. “ Lampirkan instrumen penelitian,
data yang sudah diolah dan matang, bukan yang mentah,” kata Eko yang pernah meneliti
dua karya ilmiah.
Ada hal yang
amat penting yang disampaikan Eko. “Pertama, jangan plagiat. hasil penelitian
harus asli. Ketika hasil penelitian diubah menjadi buku, maka karya yang
diterbitkan harus benar-benar asli dari penulis sendiri. Skripsi, tesis, dan
disertasi jangan coba-coba plagiat, karena akan dicek oleh generate machine
atau aplikasi turnitin untuk dicek keasliannya,” lanjutnya.
“Kedua, hindari
kompilasi terlalu banyak. Harus lebih banyak sudut pandang atau perspektif
penulis. Pendapat para ahli hanya medukung substansi buku, selebihnya adalah
sudut pandang penulis. Ketika penulis menerbitkan sebuah buku dari hasil KTI, maka
otomatis dia juga sedang menyuguhkan buku pustaka, sebagainya seperti buku
referensi. Jangan sekedar copy paste pendapat ahli perlu dihindari, namun bisa
dubah menjadi gaya penulisan kutipan, disebut paraphase,” terang Eko yang lahir di Karanganyar pada 20 Desember 1975.
Ketiga, Eko
menyarankan agar memilih data yang dipublikasikan. “Lebih baik data yang sudah
matang disajikan agar buku lebih berbobot,” lanjutnya.
Ke-empat,
eko juga menyarankan agar bisa mengubah gaya bahasa yang kaku ke luwes. “Hindari
kata menurut penelitian ini, kata peneliti atau penulis, jadi kata-kata itu
hilangkan. Ubah menjadi kata-kata yang lain. Hindari juga penanda transisi.
Misalnya pendapat si A menyatakan, berdasarkan hal tersebut, dsb,” katanya.
Eko masih
meneruskan, ke-lima, ke-enam dan ke-tujuh. “Ke-lima yaitu hindari pengambilan
sumber kutipan yang berantai, pendapat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Ke-enam,
wajib menuliskan daftar pustaka sebagai rujukan untuk mendukung keilmiahan buku
dan keabsahan buku. Ke-tujuh penyusunan buku harus sesuai kaidah buku ber-ISBN
apalagi jika akan dinilai untuk KP sesuai buku 4 PKN,” pungkas Eko Daryono
menutup pelatihan dengan mantra “Jangan takut gagal mencoba. Berdayakan karya
kita menjadi buku yang bermanfaat menjadi ladang amal kita”.
3 $type={blogger}
Write $type={blogger}Keren pak Deni ...top lah..😊
ReplySiapa dulu yg ngajarin buat stiker, T.O.B ntk Bu Nur Dwi Yanti
ReplySangat bagus resumenya. Jelas lugas dan runtut. Bisa jadi referensi buat prmbaca
Reply